“MUTIARA CINTA AJWA”
Berbicara
tentang orangtua, anak mana yang tidak menggebu-gebu ketika mengeluarkan
ekpresinya, begitupun dengan aku. Terlahir
sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang sekarang
sudah menginjak usia 18 tahun, waktu yang tidak sedikit untuk mengingat
setiap kisah yang dilewati bersama seorang pria yang kupanggil “AYAH” dan
seorang wanita yang kupanggil “IBU”. Dari mereka aku dan saudaraku yang
lain belajar semuanya, dari mereka kami
mendapatkan cinta kasih yang tiada tara, dan karena mereka pula aku menjadi aku yang sekarang.
Terlahir
dari rahim seorang wanita yang luar biasa, wanita yang tidak pernah mengeluh
dengan keadaannya, wanita yang sama sekali tidak pernah menampakkan keletihan
di hadapan kami, anak-anaknya ! walau ku tau hari-hari yang dilaluinya begitu
sulit. Mungkin yang membaca ini tidak akan percaya, ketika kalimat demi kalimat
tersusun dengan air mata yang terus berjatuhan, bukannya mendramatisir tapi
karena begitulah adanya.
Kali ini
aku akan menyampaikan sedikit kisah tentang kami, kenapa kami ? karena kisah
ini bukan kisahku dengan orangtuaku, tapi tepatnya kisah ku, kakak lelakiku (
abang ) dan orangtuaku. Aku yakin banyak teman-temanku yang tidak tahu kalau
aku mempunyai seorang kakak lelaki karena memang aku tidak ingin bercerita,
bukan karena aku malu jika harus menceritakannya, tapi tangisan yang tak
terbendung akan mewarnai setiap alunan kata yang aku keluarkan.
Aku
mempunyai kakak lelaki, dimana dia mendapat kesempatan terindah terlahir
sebagai anak pertama, anak yang ditunggu-tunggu seluruh keluarga besar, dimana
kakek dan nenek mendapatkan cucu pertama, paman dan bibi mendapatkan keponakan
pertama, semuanya serba pertama. Dia lahir seperti bayi pada umumnya, sehat,
tampan, mungil dan menggemaskan tentunya, lengkap sudah kebahagiaan untuk
sebuah keluarga kecil menurutku.
Dengan
tingkahnya yang lucu selalu membuat seluruh keluarga tersenyum bahagia. Namun
kabahagiaan itu tidak berlangsung lama, tepat ketika usianya menginjak empat
bulan, penyakit mengerikan itu datang merenggut senyumnya, senyum orangtuaku,
dan senyum seluruh keluarga besarku pada waktu itu. Abangku terkena polio
hingga ia tidak bisa tumbuh normal layaknya balita seusianya, dia tidak akan
mampu berjalan, duduk seumur hidupnya, atau bahkan makan sendiri dan itu merupakan awal kesedihan yang mendalam
bagi orangtuaku, terlebih ibuku yang telah melahirkannya. Kurasa ibu manapun
akan seperti itu jika mengalami hal yang tidak pernah diharapkan akan terjadi
pada buah hatinya. Hingga segalanya telah diupayakan oleh orangtuaku demi
kesembuhan abangku tapi Allah berkehendak lain, dia masih dengan keadaannya
yang membuatku selalu berurai air mata jika melihatnya.
Tiga tahun
berlalu kondisi abangku masih sama,
bersamaan dengan lahirnya aku ditengah-tengah mereka, mungkin sedikit menambah,
ibuku pernah berpikir untuk tidak memiliki anak lagi karena takut hal itu akan
terjadi lagi pada anak-anaknya tapi berkat dukungan keluarga akhirnya ibu
kembali bangkit dari keterpurukan. Dan pekerjaan ibuku bertambah harus merawat
dua balita dalam waktu bersamaan.
Aku tidak pernah mengatakan bahwa abangku
adalah musibah tapi sebaliknya aku dan ibuku setuju bahwa dia adalah anugerah.
Bahkan sejak dua puluh satu tahun berlalu ibuku masih tetap seperti dulu, menyayangi
abangku tidak pernah putus asa. Walaupun ada yang menghinanya dan tidak sedikit
pula teman-teman disamping rumahku mengolok-ngolok keadaan abangku, rasanya
ingin sekali aku mendatangi dan melemparnya dengan bola kasti yang sering
kubawa ketika aku masih kecil ( dulunya ketika SD, aku terkenal bandel karena
memang aku lebih suka bermain dengan laki-laki ) tapi dengan bijaksana ibuku
berkata “jangan nak, biarkan mereka mengolok-ngolokmu, jangan pedulikan mereka,
anggap itu angin lalu saja”, begitulah ibuku. Beliau adalah tipe wanita yang
pekerja keras. Pernah suatu ketika dimana roda perekonomian keluargaku sedang
berada dibawah dikarenakan ayahku sedang sakit dan keuangan semakin menipis, beliau
rela mencuci pakaian kotor tetanggaku agar aku dan abangku tidak kelaparan, hal
itu bukan hanya sekali dilakukan ibuku tapi berulang kali hingga aku dan
abangku seperti sekarang.
Walaupun
hingga detik ini, abangku masih begitu, hanya bisa berbaring di tempat tidurnya
tanpa bisa mengatakan apapun yang diinginkannya, seringkali aku menangis, kenapa
? karena aku sedih melihatnya tidak seperti lelaki seusianya, bisa melakukan
semua yang ingin dilakukan. Aku juga sedih karena aku belum pernah merasakan
pelukan hangat seorang abang yang kurindukan, aku ingin sekali dia menghiburku
ketika aku sedih, dia mendengarkan cerita ku, dia memahami isi hatiku dan
mengerti dengan sifatku yang kadang-kadang membuat orang disekelilingku kesal,
tapi itu hanya sebatas harapan.
Ibu dan
ayahku mengetahui apa yang kuinginkan, tapi dengan kebijaksanaan mereka, dan
cinta mereka lagi-lagi aku terharu dengan nasehat mereka, bahwa kebanyakan
orang menganggap cinta itu bisa terlihat dari perbuatan, padahal tidak…itu
salah !!! ada kalanya cinta itu dapat dirasakan tanpa perbuatan, begitulah yang
sedang diberikan oleh abangku kepadaku, dengan menilai cara dia menatapmu saja,
itu menunjukkan bahwa dia sangat menyayangimu, cobalah lihat sinar matanya
ketika melihatmu, itu adalah sinar kasih sayang duhai anakku.
Begitulah
orangtuaku melihat sesuatu hal, mereka adalah motivasi terbesar dalam hidupku,
mereka selalu berjuang hingga peluh itu mengalir deras di wajahnya, tapi mereka
tidak berhenti sebelum aku, berhasil !!! yahhh hanya satu yang diinginkan
mereka, melihat aku berdiri dengan bendera keberhasilan ditanganku. Dan aku
juga tidak akan berhenti untuk terus membuat keduanya dan abangku bangga
memiliki anak dan adik sepertiku. Aku janji ayah, aku janji ibu, aku janji
abangku, aku janji…..!!!
Disini, dihati ini ada tempat yang tak akan pernah
tergantikan oleh apapun untuk mereka karena mereka MUTIARA CINTA KU.
LOVE U MOM
LOVE U FATHER
LOVE U MY BROTHER
Princez Ajwa
0 komentar:
Posting Komentar